Total Tayangan Halaman

Minggu, 12 Juni 2011

Education part 10

Review militer masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan pemerintah di bidang pertahanan pada masa Megawati selanjutnya direvisi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Pertahanan Negara 2005-2009. Yang antara lain berisi tentang tata cara mewujudkan pertahanan Negara yang tangguh, berdaya tangkal, modern dan dinamis yang mampu menjaga dan melindungi eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilakukan dengan menyelenggarakannya. Tujuan utama kebijakan rencana strategi pembangunan kekuatan pertahanan ini adalah untuk mengisi kesenjangan atau kekurangan antara kekuatan nyata dengan kekuatan sesuai tabel organisasi personil atau daftar susunan pejabat personil. Namun, meskipun pemerintah SBY berupaya untuk merumuskan kembali kebijakan pertahanan keamanan Negara, tetapi output kebijakan tersebut tidak dapat menghasilkan konsepsi dan strategi pertahanan keamanan Negara yang komprehensif integral dan dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan undang-undang tentang TNI dan POLRI serta kebijakan tentang pertahanan Negara telah ditetapkan terlebih dahulu.
Melanjuti kiprah TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakin terhadap rencana pelibatan pasukan elit TNI (Denjaka, Den 81 Gultor dan Paskhas Angkatan Udara) dalam operasi melawan teror. Keseriusan SBY untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme terlihat pada Agustus 2009, ketika Densus 88 Anti Teror Polri tengah menggelar perburuan jaringan teroris Noerdin M Top, Presiden SBY menyampaikan pidato. Dalam pidatonya ini, SBY meminta agar Polri dan TNI dapat lebih bersinergi dalam menanggulangi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Panglima TNI yang dijabat oleh Laks. Agus Suhartono menanggapi seruan tersebut dengan menyatakan kesiapan TNI untuk bersama-sama dengan Polri dalam penanganan terorisme. Begitupun Kapolri Bambang Hendarso Danuri, yang kini sudah pensiun juga merespon seruan tersebut dengan menyatakan adanya keinginan kepolisian untuk melibatkan pasukan elite TNI, Den Jaka, Den Bravo-90, dan Sat-81 Gultor dalam pemberantasan terorisme.
Alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang menjadi salah satu sorotan kekuatan TNI tetapi sekarang ini kurang berfungsi secara efektif karena telah berumur tua. Menanggapi masalah ini, kalangan TNI menegaskan pentingnya kemandirian industri pertahanan, oleh karena itu TNI berpendapat bahwa alutsista pertahanan dapat diproduksi dari dalam negeri. Di sisi lain, pengambil alihan bisnis TNI menjadi pelik karena menyangkut kepentingan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI, sebuah langkah besar juga terjadi pada revitalisasi industri pertahanan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan alutsista TNI di masa mendatang. Dalam pembangunan industri pertahanan, Presiden SBY juga memberikan dukungan besar kepada Panglima TNI. Dalam pertemuan informal dengan industri-industri pertahanan antara lain PT. Dirgantara Indonesia, PT PAL, dan PT Pindad diharapkan dalam waktu 4 hingga 5 tahun ke depan bisa menambah alutsista pertahanan secara signifikan. Pembelian peralatan dari luar negeri, hanya berlaku terhadap alutsista yang belum bisa diproduksi di dalam negeri, seperti pesawat tempur.
Mengacu pada UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah merupakan salah satu tugas pokok TNI selain perang. Hanya saja pelibatan tanpa pengaturan yang jelas, yang lahir dari keputusan politik negara, dipandang memunculkan masalah baru. Kalangan masyarakat sipil bahkan menyebut SBY memancing munculnya polemik lama, dan seruan SBY pada ulang tahun ke 65 patut dikritisi. Sebabnya, Keinginan SBY melalui pemaksimalan kerja struktur komando territorial bertolak belakang dengan semangat reformasi TNI yang dimulai sejak 12 tahun silam, yakni amanat untuk menghapuskan Koter yang juga tertuang di dalam UU TNI. Koter dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, dianggap memberi peluang bagi kepentingan politik praktis. Riset yang dilakukan menunjukkan bahwa Koter banyak sekali melakukan praktik ilegal, seperti politik praktis, bisnis ilegal dan kekerasan, karenanya struktur ini perlu dihapus. Sistem Komando Teritorial juga dinilai sudah tidak relevan lagi dengan konteks ancaman saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar