Total Tayangan Halaman

Minggu, 12 Juni 2011

Education part 9

Review peran militer pada masa pemerintahan Megawati
Berakhirnya rezim orba yang ditandai mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan dan dihapusnya peran militer dalam pemerintahan lalu digantikan era reformasi transisi yang di awali oleh kepemimpinan Habibie dimana beliau melakukan penghapusan peran politik TNI (reformasi internal militer) atas desakan masyarakat dan mengganti paradigma militer yang terkesan full power menjadi militer yang di redefinisi, reposisi dan reaktualisasi. Kemudian dilanjutkan oleh Abdurrahman Wahid yang memiliki andil dalam mereposisi peran militer (memisahkan militer dalam 2 yaitu, TNI yang fokus pada pertahanan dan POLRI pada Keamanan Negara).
Semenjak pergantian kekuasaan dari Abdurrahman Wahid ke tangan Megawati terjadi perubahan kebijakan mengenai hubungan sipil militer. Saat kursi kepresidenan dipegang oleh Megawati (Agustus 2001-Desember 2003), kekuasaan otoriter militer beralih menuju kekuasaan demokrasi. Pada era lanjutan reformasi ini, Mega mencoba menjalankan peran ideal militer, yaitu militer profesional, yang berarti sipil berada di atas militer dan militer tidak terlibat dalam politik. Dari kontrol sipil subyektif menuju kontrol sipil objektif yang lebih mengacu pada pertahanan dan keamanan Negara. Perubahan-perubahan dalam bidang militer yang di lakukan Mega antara lain; mengganti pejabat-pejabat militer yang memegang jabatan politis, pembatasan keterlibatan elite militer dalam politik, membubarkan badan militer khusus yang berkuasa, Departemen Pertahanan yang sebelumnya di pimpin oleh pejabat militer diserahkan kepada pejabat sipil, meningkatkan profesionalisme militer, formulasi ulang doktrin militer sesuai dengan perubahan baru, dan melepaskan fungsi keamanan internal dan peranan dibidang bisnis.
Mengenai upaya pembenahan internal TNI yang lebih di fokuskan pada fungsi utamanya sebagai kekuatan pertahanan Negara. Langkah yang dikembangkan untuk mendukung fungsi dan paradigma baru ini, antara lain; penghapusan Kepala Staf Sosial Politik dalam struktur TNI di pusat, dan struktur di bawahnya di seluruh Indonesia, TNI juga tidak dibenarkan berkarier di lembaga sipil demi memusatkan pengabdian TNI di Republik Indonesia. Disisi lain dalam pemerintahan Megawati, polemik relasi antara TNI dan POLRI dalam kaitannya dengan penanganan keamanan Negara yang masih belum begitu jelas diatur dan penanganan terorisme yang mulai marak terjadi di Indonesia (terjadinya bom di salah satu klub malam di Bali tanggal 12 Oktober yang menewaskan hampir 200 orang). Pada saat itu, pemerintahan Megawati mengeluarkan kebijakan penanggulangan aksi terorisme. Namun, kebijakan yang dikeluarkan Mega ini mendapat kritik karena ia memberikan porsi peran yang terlalu besar kepada polisi daripada TNI. Dan menyangkut ancaman pertahanan Negara, maka peran TNI masuk dalam hal penanganan terorisme ini. Akan tetapi, metode kebijakan yang diberlakukan Megawati justru sebaliknya, UU No. 15/2003 mengenai Tindak Pidana Terorisme seolah-olah berada dalam wilayah kriminalitas. Hal lain yang dapat dilihat sebagai munculnya dinamika hubungan sipil-militer di era Presiden Megawati adalah sikap militer terhadap amandemen UUD 1945, hak memilih dan dipilih bagi prajurit TNI/POLRI dalam pemilu, RUU tentang TNI dan kebijakan pemerintah membeli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia. Dari ini semua masih di jumpai beberapa kendala pemerintahan Megawati untuk membangun TNI yang professional, yakni: Pemerintah Megawati tidak memberikan komitmen dan arahan yang jelas mengenai bagaimana profesionalisme militer yang harus dilakukan, terbatasnya anggaran Negara untuk membiayai keprluan militer karena profesionalisme militer dapat berlangsung dengan mulus bila dukungan dana dan peralatan yang cukup, serta kondisi keamanan dalam negeri yang belum nyaman dirasakan oleh seluruh penduduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar